I.
PENDAHULUAN
Bahasa adalah faktor terpenting dalam kehidupan manusia untuk
bersosialisasi dengan yang lain. Bahasa sebagai alat komunikasi yang dihasilkan
dari kerja akal yang ada di dalam otak manusia memiliki gaya tarik tersendiri
bagi para filsuf untuk mengkaji, meneliti dan menganalisis. Para filsuf sadar
bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan filsafat dan konsep filosofis menjadi
jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Adapun analisis bahasa adalah suatu
pandangan yang berupaya menjelaskan (melalui analisis) penggunaan bahasa dalam
filsafat.
Analisis bahasa bukanlah suatu hal baru dalam arena filsafat yang
didasarkan pada pencanangan Wittgenstein pada abad ke-20an sebagai metode dalam
berfilsafat. Akan tetapi, analisis bahasa sebenarnya sudah terdapat benih-
benihnya dalam pemikiran para filsuf terdahulu. Benih- benih yang berupa ide-
ide tersebut baik yang disengaja maupun tidak diambil dan dikembangkan oleh
tokoh- tokoh MAB (Madzhab Analitika Bahasa) sesuai dengan pola pemikiran mereka
masing- masing.
Berdasarkan penjelasan tersebut, para tokoh filsuf terdahulu telah
menanamkan dan memberikan sumbangsih yang tidak kecil bagi perkembangan dan
pertumbuhan MAB (Metode Analisis Bahasa) dengan perkembangan filsafat secara
umum. Meskipun, para filsuf terdahulu belum menjadikan analisis bahasa sebagai satu-
satunya objek pemikiran mereka.
Adapun filsuf yang dianggap sebagai penyebar benih MAB (Madzhab
Analitika Bahasa), yaitu: Socrates, aristoteles, Descartes, John Locke, David
Hume, Immanuel Kant, dan G.E. Moore.[1]
Pada kesempatan ini, penulis akan mencoba menjelaskan secara khusus G.E. Moore
dan pemikirannya terhadap filsafat khususnya filsafat bahasa, dengan tujuan
untuk lebih mengetahui G.E. Moore sebagai filsuf yang memiliki pemikiran luar
biasa yang berpengaruh besar terhadap perkembangan MAB (Madzhab Analitika Bahasa).
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Siapakah
George Edward Moore itu?
B.
Bagaimana
Pemikiran George Edward Moore Terhadap Filsafat Bahasa?
C.
Bagaimana
George Edward Moore membongkar kekeliruan naturalistik?
III.
PEMBAHASAN
A.
George Edward Moore (1873- 1958)
G.E. Moore lahir pada tanggal 04 November 1873 di London, England
dan meninggal pada tanggal 24 Oktober 1958 di Cambridge, London.[2] Ia
adalah seorang filsuf terkemuka Inggris dari aliran realisme baru (neorealisme)
dan tokoh pelopor filsafat analitik yang mengembangkan teori realistik baru
dalam epistemologi [3]
era 19 sampai 20-an. Ia merupakan saudara
dari penulis dan pemahat Sturge Thomas Moore.
Selain itu, Ia juga merupakan seorang tokoh pertama yang melancarkan kritikan
pedas terhadap neohegelianisme[4],
sekaligus menjabat sebagai guru besar filsafat dan ahli
filologi[5]
dari Universitas Cambridge, Inggris dan editor majalah filsafat Cambridge yang
menjadi pemancar filsafat analitis sampai hari ini, Mind selama 26
tahun, 1921- 1947[6].
Meskipun Ia secara nisbi sedikit menulis, namun ia mempunyai pengaruh yang
sangat besar di Inggris dan Amerika.[7]
Adapun tulisan- tulisan atau karya- karya G.E. Moore antara lain:
1. Some Main Problems Of Philosophy
2. The Reputation Of Idealisme
3. Principia Ethica
4. Proof Of The External
World
5. A Defense Of Common Sense
6. Ethics
B.
Pemikiran George Edward Moore Terhadap Filsafat Bahasa
Tokoh yang dikenal lebih istemewa diantara tokoh- tokoh lain karena
pemikirannya yang mampu menumbuhkan benih analitik[8] bahasa
yang disemaikan para filsuf terdahulu ini, dianggap sebagai pencetus gagasan
bagi kehadiran analisis bahasa pada abad kedua puluhan. Ia berkeyakinan bahwa
banyak masalah kefilsafatan itu sesungguhnya merupakan masalah- masalah semu,
yang kiranya akan hilang manakala orang secara cermat mempertimbangkan apakah
sebenarnya yang dimaksud oleh masalah tersebut
Pandangan- pandangan kefilsafatannya dimulai dengan melakukan
kritik terhadap metode dan ungkapan yang disodorkan kaum neohegelianisme.
Sebab metodenya inilah ia mendapat julukan “seorang filsuf yang berfilsafat
tentang filosof- filosof lain” atau bahasa Inggrisnya “philosopher’s
philosopher”. Dalam karyanya The Reputation of Idealisme yang dimuat
dalam majalah Mind pada tahun 1903, moore menolak mentah- mentah
metafisika Bradley dan menunjukkan bahwa titik kelemahan utama filsafat
idealisme kaum hegelian yang mendominasi corak pemikiran filsafat di Inggris
sejak pertengahan abad kesembilan belas hingga awal abad kedua puluh terlihat
jelas pada pernyataan- pernyataan (statements) filsafat mereka yang
tidak memiliki dasar logika sehingga tidak terpahami oleh akal sehat (common
sense).[9]
Menurut Moore dalam filsafat neohegelianisme banyak dijumpai
ungkapan- ungkapan metafisis, seperti: “ waktu adalah tidak real”, “jiwa
itu adalah abadi”, “ dunia merupakan kesatuan realitas, yaitu Roh Absolut”. Menurut
pendapatnya, ungkapan- ungkapan semacam ini merupakan jenis ungkapan yang tidak
dapat dipahami oleh akal sehat, maka dari itu perlu dibuang karena tidak ada
gunanya. Spekulasi metafisis yang tidak dapat dimengerti itu tidak dibutuhkan.[10] Selain
itu, menurutnya common language atau bahasa sehari- hari merupakan
sumber akal sehat yang sudah mencukupi, karena itu filsafat harus berpihak
kepada akal sehat dan alatnya adalah analisis bahasa. Analisis Moore ini berada
sebelum terjadinya perpisahan antara positivisme[11]
dengan metafisika dan berhasil mematahkan dominasi kaum hegelian Inggris serta
merupakan pertumbuhan awal gerakan baru dalam arena filsafat sebelumnya.[12]
Di dalam karyanya A Defense Of Common Sense (1924), Moore
mengatakan bahwa dari sinilah terjadi sebagian besar pertentangan antara sekian
banyak filosof dengan akal sehat. Manakala seorang filsuf berbenturan dengan
akal sehat maka ia mempertahankan diri dengan jalan melarikan diri ke dalam
dunia gelap.
Bagi Moore, tugas filsafat yang sebenarnya bukanlah menjelaskan
atau menafsirkan tentang pengalaman kita, melainkan memberikan penjelasan
terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahui melalui kegiatan analisis
bahasa berdasarkan akal sehat. Kegiatan analisis di sini dapat diartikan
sebagai kegiatan menjelaskan suatu pikiran, suatu konsep yang diungkapkan,
mengeksplisitkan semua yang tersimpul di dalamnya, merumuskan dengan kata- kata
lain, memecahkan suatu persoalan ke dalam detail- detail kecil. Cara ini sudah
ada pada metode rasionalisme Descartes.
Analisis itu juga bisa berarti bahwa kata- kata dan kalimat-
kalimat biasa (analisandum) diganti oleh kata- kata dan kalimat- kalimat
lain (analisins)yang mempunyai arti yang sama tetapi mempunyai bentuk
yang lebih jelas. Selanjutnya, bagi Moore yang lebih penting adalah
mengkalimatkan pertanyaan- pertanyaan dengan jelas dan tepat. Ini karena banyak
persoalan filsafat yang belum bisa diturunkan dalam bentuk kalimat yang tepat
dan sempurna, sehingga dapat menjawab persoalan- persoalan yang sebenarnya.
Dalam karyanya tentang etika, yaitu Principia Ethica (1903),
Moore telah menerapkan analisis bahasa terhadap konsep- konsep etika, yang
kemudian lebih dikenal dengan istilah “Metaethics”, yaitu penyelidikan tentang
arti yang terkandung dalam istilah atau ungkapan yang terdapat dalam bidang
etika. Pandangan Moore ini mengarah pada pencarian arti/ makna bahasa dalam
filsafat sebagai salah satu persoalan yang paling mendasar dalam filsafat
analitik. Dewasa ini, analisis konsep dinamakan sebagai “Metalanguage”, yaitu
penjelasan terhadap konsep- konsep atau bahasa yang dipergunakan dalam
filsafat”.
Pada tahun 1912 Moore menyempurnakan karyanya Principia Ethica
tersebut dengan menggunakan judul karya baru yaitu Ethics yang
mengutarakan pandangan yang lebih singkat dan jelas dan dengan sistematika
lain. Berikut ini adalah garis besar pemikiran Moore dalam Principia Ethica:
“Dalam etika terdapat tiga pertanyaan dasar, yaitu: 1) apa yang
harus ku lakukan?, 2) apa yang bernilai?, dan 3) apa arti kata baik?”
Dari ketiga pertanyaan di atas, terdapat hubungan logis. Dari sudut
kebutuhan kehidupan praktis, pertanyaan nomor satulah yang relevan, karena
pertanyaan tersebut masuk pada wilayah bahasan etika normatif yang mencari prinsip- prinsip dasar kelakuan
yang benar. Kelakuan yang benar adalah kelakuan yag paling tepat melaksanakan
yang baik. Maka secara logis pertanyaan pertama mengandaikan jawaban atas
pertanyaan kedua. Pertanyaan yang kedua “ apa yang bernilai”,maka harus tahu
terlebih dahulu, apa yang dimaksud nilai itu?. Karena dalam bahasa etika: etika
normatif mengandaikan etika nilai. Dalam bahasa Moore: untuk mengetahui apa
yang baik (the good), kita harus mengetahui terlebih dahulu arti kata
“baik” (good). Dengan demikian jelaslah bagi Moore bahwa pertanyaan
etika paling mendasar adalah pertanyaan tentang arti kata “baik”.
Oleh karena itu, Principia Ethica buka dengan pertanyaan
tentang arti kata “baik”. Dalam kaitan dengan pertanyaan itu lalu dibahas
pelbagai anggapan yang keliru. Kemudian Moore menguraikan pandangannya tentang
perbuatan yang benar secara moral. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang
menghasilkan sebanyak mungkin realitas yang baik. Dalam bab terakhir Principia
Ethica, Moore menguraikan anggapannya tentang realitas mana yang baik, atau
bernilai pada dirinya sendiri. Jadi, Moore mulai dengan pertanyaan yang ketiga,
lalu membahas yang pertama, akhirnya yang kedua.
Dalam naturalisme etis, Moore menyatakan keheranannya kepada para
filosof sebelumnya yang selama lebih dari 2 ribu tahun tidak memberikan banyak
perhatian terhadap apa arti kata “baik”. Padahal para filosof moral pada
umumnya beretika seakan- akan mereka sudah mengetahui dengan jelas apa yang
dimaksud “baik” itu, tanpa memeriksa dan mempertanggung jawabkan arti yang
mereka andaikan itu. Sehingga, dengan sendirinya etika- etika yang mereka bangun
atas pengertian yang salah, maka arahnya pun salah.
Menurut Moore, kebanyakan para filosof moral jatuh ke dalam
perangkap yang sama, meskipun mereka mengartikannya berbeda- beda. Adapun
perangkap yang sama itu adalah mereka menyamakan kata “baik” dengan salah satu
sifat atau ciri lain. Menurut Moore ini adalah merupakan suatu kesalahan yang
disebutnya dengan naturalisme.
Berikut ini adalah beberapa pengertian para filosof sebelumnya tentang
arti kata “baik”:[13]
1.
Kaum
hedonis mengartikan kata “baik” dengan apayang menyenangkan atau dalam rumusan
utilatarisme “the greatest happines of the greatest number”.
2.
Aristoteles
mengartikan kata “ baik” dengan apa yang mengembangkan manusia.
3.
Spencer
mengartikan kata “ baik” dengan apa yang searah dengan evolusi.
4.
Hume
dan kaum emotivis mengartikan kata “ baik” dengan apa yang diinginkan, dan
lain- lain.
Menurut Moore pengartian- pengartian di atas adalah bermasalah,
bahkan salah kaprah. Hal tersebut dikarenakan anggapan- anggapan mereka yang
menyamakan “baik” dengan salah satu ciri fisik atau metafisik. Apa yang
diinginkan orang adalah kenyataan objektif (fisik), baik itu dinilai baik atau
buruk, benar atau salah, sopan atau kurang ajar. Kehendak Allah dan kodrat itu
sesuatu yang objektif. Begitu pula dengan rasa nikmat dan seterusnya. Yang sama
pada realitas ini adalah bahwa mereka tidak memuat suatu penilaian, harapan
atau keharusan, melainkan sebuah kenyataan yang dapat ada atau tidak ada. Kenyataan- kenyataan ini bersifat
bukan normatif, melainkan deskriptif. Misalnya pernyataan “ membantu
ibu itu “baik” lalu berarti “membantu ibu itu “ menyenangkan”,
atau “ mengembangkan kepribadian orang”, atau “diinginkan”dan
lain- lain. Jadi, penilaian moral difahami sebagai pernyataan tentang sebuah
realitas, baik natural atau supernatural atau metafisik.
Moore membagi teori- teori naturalistik ke dalam dua kelompok, yaitu:
1.
Naturalisme
etis, dalam arti sempit “baik” disamakan dengan sebuah fakta atau
keadaan alami.
2.
Etika-
etika metafisik, menyamakan kata
“baik” dengan sebuah realitas non- duniawi atau metafisik.
Kedua pembagian kelompok di atas bersifat “ naturalistik” karena
menyamakan realitas yang berkesan normatif atau bernilai sebuah keadaan non-
normatif faktual, baik fisik maupun metafisik. Menurut naturalisme etis, penilaian
moral dan pernyataan normatif bukan sebuah kelas atau macam pernyataan
tersendiri di luar pernyataan faktual, melainkan termasuk pernyataan faktual,
pernyataan tentang ada tidaknya sebuah realitas. Dari hal ada tidaknya sebuah
realitas tersebut, Moore memberikan perhatian khusus terhadap kata yang dirujuk
naturalisme etis dan Etika- etika metafisik yaitu kata “baik”,
karena dalam pengartian yang telah dipakai para filosof moral terdahulu salah kaprah dan tidak sesuai bahkan jika
dilogika tidak ada kaitannya dan maknanya tidaksesuai dengan apa yang dimaksud
(tidak sesuai akal sehat).
Dari karya Principia Ethica atu Ethics
tersebut dapat diketahui bahwa konsep-konsep yang ditawarkan Moore bertitik
tolak pada “akal sehat”. Adapun “akal
sehat” tersebut digunakan selain untuk meluruskan para filosof moral dalam
megartikan kata “baik”, juga untuk
menyadarkan kita dari tipu daya istilah atau ungkapan yang muluk- muluk dan
begitu mempesona, sebagaimana yang telah dibuat kaum hegelian. Baginya, ungkapan-
ungkapan kaum hegelian tidak hanya membingungkan, akan tetapi juga tidak dapat
diterima oleh akal sehat. Dalam karya lainnya yaitu “Proof Of The External World, Moore menyanggah
putusan filsafat kaum hegelian “ kita tidak dapat mengetahui dunia lahiriah
itu ada” dengan nada setengah mengejek melalui pentaswiran sebagai berikut:
“Sebagai contoh, saya dapat membuktikan bahwa kedua tangan
manusia itu benar- benar ada dalam fakta. Caranya adalah dengan mengenggam
kedua tangan saya itu, sambil menggerakkan tangan kanan, saya mengatakan “ ini
tangan yang satu”, kemudian sambil menggerakkan tangan sebelah kiri, saya
mengatakan, “ini tangan kedua”. Melalui tindakan ini, saya telah membuktikan
keperiadaan benda- benda lahiriah berdasarkan fakta”.
Melalui contoh sederhana itu, Moore bermaksud menunjukkan untuk
membuktikan kepribadian dunia lahiriah itu ada, tidak perlu didukung suatu
putusan filsafat, cukup didasarkan akal sehat saja.
Penyebab timbulnya kekacauan ataupun perselisihan paham dalam
kancah filsafat itu, menurut Moore karena filsuf berusaha menjawab pertanyaan
tanpa mengetahui secara tepat apakah pertanyaan itu memang layak untuk dijawab.
Di sini, kita melihat bahwa tudingan yang diarahkan pada persoalan filsafat
yang banyak mengandung “Misteri” atau teka- teki yang membingungkan banyak
orang, yang menurut kacamata Moore, persoalan itu tidak lazim bagi akal sehat.
Ketidaklaziman itu, salah satu di antaranya terlihat pada ungkapan filsafat
yang bersimpang jalan dengan pemakaian bahasa biasa sehari- hari. Bagi Moore,
“keadaan itu merupakan pertanda bahwa akal sehat kita telah dilanggar secara
terang- terangan”.
Untuk menjelaskan penggunaan bahasa biasa yang berbeda dengan
penggunaan bahasa filsafat itu, Moore menunjukkan contoh melalui dua pernyataan
berikut. Pernyataan pertama (semua harimau pasti mengaum) dan pernyataan kedua
(semua harimau itu “ada”). Pernyataan pertama lebih mudah dipahami
pengertiannya dari pada pernyataan kedua (semua harimau itu “ada”). Kebanyakan
pernyataan filsafat itu serupa dengan pernyataan kedua. Padahal menurut Moore,
“ada” itu bukanlah predikat yang sejenis
dengan “mengaum”. Inilah salah satu titik kelemahan atas kekacauan penggunaan
bahasa dalam filsafat yang berhasil disingkap oleh Moore.
Corak pemikiran Moore seperti yang telah dipaparkan di atas,
disebarluaskan dan dikembangkan secara terperinci oleh para filsuf analitik pada
abad ke20-an. Adapun tokoh filsafat analitik, seperti Russel, Wittgenstein,
Ryle, Austin, dan lain- lain, baik secara langsung maupun tidak, telah
mengambil ide- ide Moore dalam teknik- teknik analisis bahasa yang mereka
jalankan.
C.
Pembongkaran George Edward
Moore terhadap Kekeliruan Naturalistik
Dalam hal pembongkaran terhadap kekeliruan naturalistik ini, Moore
menganggap bahwa hal tersebut berada pada identifikasi arti kata “baik” dengan
salah satu kenyataan atau realitas. Moore mengajukan dua pertimbangan yang
cukup jelas, yaitu:
1.
Kata
“baik” identik dengan sebuah keadaan, semua pernyataan yang memakai kata “baik”
menjadi tautologis. Misalnya:
·
Kata
“baik” sama dengan (=) “ sesuai dengan kehendak Allah” .
Maka
perintah “ berbuatlah sesuai dengan
kehendak Allah karena itulah perbuatan baik” => berbuatlah sesuai
dengan kehendak Allah karena itulah perbuatan sesuai dengan kehendak Allah.
·
Kata
“baik” sama dengan (=) “ memberi nikmat”
Maka
kalimat “ hidup baik adalah hidup yang memberi nikmat => “ hidup memberi
nikmat adalah hidup yang memberi nikmat”.
Dari
dua contoh di atas, maka arti kata “baik” akan menjadi hilang.
2.
Argumen
pertanyaan terbuka. Argumen ini berjalan sebagai berikut:
Misalnya:
·
Menetapkan
kata “baik” dengan “yang memberi nikmat”, tetapi masih terbuka pertanyaan: Apakah
apa saja yang memberi nikmat memang baik?
·
Menetapkan
kata “baik” dengan “ apa yang diinginkan”, kita masih bisa bertanya : apakah
yang didinginkan orang selalu baik?, dan masih ada contoh- contoh yang lainnya.
Dari argumen pertanyaan- pertanyaan tersebut, kita akan selalu bisa
bertanya kembali apakah yang dianggap baik itu memang baik. Maka tidak mungkin
“baik” itu identik dengan keadaan apapun yang dianggap baik.[14]
Adapun pendapat Moore mengenahi identifikasi kata “baik “ adalah
bahwa kata “baik” tidak dapat dianalisa lebih lanjut. Kata “baik” merupakan
sifat yang primer (simple)[15]
yang tidak lagi terdiri dari bagian- bagian atau unsur- unsur dan oleh karena
itu juga tidak dapat dianalisa. “Baik” adalah sesuatu yang kita tangkap secara
langsung. Kalaupun kita mengambil sepuluh perbuatan yang kita nilai “baik” lalu
memeriksa perbuatan itu apakah ada kesamaannya, kita tidak akan dapat menemukan
arti baik kalau kita tidak mengetahuinya sebelumnya. Orang yang tidak menangkap
arti kata “baik”, dengan segala penjelasan pun tidak akan menangkapnya.
Untuk lebih menjelaskan maksud pendapatnya tersebut, maka Moore
mengibaratkan dan membandingkan kata “baik” dengan “kuning”. Warna kuning
memang selalu melekat pada sebuah benda: pakaian, dinding, bulpen, bendera bisa
kuning. Tidak ada kuning mengambang di udara kosong. Akan tetapi, “kuning”
sendiri tidak identik dengan “kendaraannya”.
Betapapun kita menganalisis pakaian, dinding, bulpen dan bendera kuning,
analisis tersebut tidak menambah apapun pada persepsi kuning itu. Bagi orang yang
buta warna kuning- biru (yang jarang terjadi), analisis dan pemeriksaan apapun
terhadap benda yang kuning tidak akan membuat orang itu mengetahuinya apa yang
disebut kuning oleh orang lain. Orang atau melihat yang kuning atau tidak, dan ssegala
analisis terhadap benda kuning tidak menambah apapun pada pengetahuan itu.
Begitu pula kita tidak tahu apa itu kuning kalau kita menjelaskan panjang
gelombang elektromagnetik berapa yang menimbulkan rasa kuning.
Begitu pula orang mengerti apa itu “baik” atau tidak mengertinya,
dan kalau ia tidak mengertinya analisis apapun tidak akan membuatnya mengerti.
Jadi, pengetahuan tentang arti “baik” bersifat intuitif. Pada
hakekatnya, dari “baik” (good) harus dibedakan antara benda atau
realitas yang baik (the good). Pencampuran kata “baik” dengan “apa yang
baik” adalah kekeliruan naturalistik tadi. Ada benda yang lebih dan yang kurang
baik. Kadar kebaikan sebuah benda tidak ditentukan oleh kebaikan bagiannya-
bagiannya. Bisa saja terjadi bahwa kebaikan dua benda yang masing- masing
memilki kebaikan rendah seperti misalnya nikmat dan pengetahuan, memiliki kadar
kebaikan yang tinggi kalau dipersatukan sebagai pengetahuan yang memberikan
nikmat.
Itulah teori Moore tentang “organic wholes”, satuan- satuan
atau keutuhan-keutuhan organis. Yang dimaksud adalah bahwa “nilai sebuah
keutuhan jangan dianggap sama dengan jumlah nilai bagian- bagiannya”. Kesatuan
yang terbangun atas beberapa bagian dapat memiliki nilai jauh lebih tinggi dari
pada jumlah nilai satuan masing- masing.
Moore menegaskan bahwa penilaian moral, jadi penilaian apakah dan
sejauh mana sesuatu itu baik atau buruk, bersifat seratus persen objektif dalam
arti bahwa penilaian itu tidak tergantung dari selera, perasaan atau insting
orang yang menilai. Maka dua realitas yang secara hakiki sama, pasti juga sama
baiknya: “apabila sebuah keutuhan pernah (dipastikan) baik atau buruk pada
dirinya sendiri, maka setiap keutuhan yang persis mirip dengannya selalu pasti
baik atau buruk pada dirinya sendiri, persis dengan takaran yang sama.
IV.
KESIMPULAN
G.E. Moore (04 November 1873 - 24
Oktober 1958) adalah seorang filsuf terkemuka Inggris dari aliran realisme baru
dan tokoh pelopor filsafat analitik yang mengembangkan teori realistik baru
dalam epistemologi di era 19 sampai 20-an. Ia juga merupakan seorang tokoh
pertama yang melancarkan kritikan pedas terhadap neohegelianisme.
Pemikirannya terhadap filsafat
bahasa dimulai dengan melakukan kritik terhadap metode dan ungkapan yang
disodorkan kaum neohegelianisme. Ia menolak mentah- mentah metafisika
Bradley dan menunjukkan bahwa titik kelemahan utama kaum hegelian terlihat
jelas pada pernyataan- pernyataan (statements) filsafat mereka yang
tidak memiliki dasar logika, sehingga tidak terpahami oleh akal sehat.
Padahal bahasa sehari- hari itu merupakan sumber akal sehat. Karena itu
filsafat harus berpihak kepada akal sehat dan alatnya adalah analisis bahasa.
Moore menganggap bahwa kekeliruan
naturalistik berada pada identifikasi arti kata “baik” dengan salah satu
kenyataan atau realitas. Menurutnya kata “baik” tidak dapat dianalisa lebih
lanjut. Kata “baik” merupakan sifat yang primer (simple) yang tidak lagi
terdiri dari bagian- bagian atau unsur- unsur dan oleh karena itu juga tidak
dapat dianalisa.
V.
PENUTUP
Demikian apa yang dapat disajikan oleh penulis, semoga dapat
memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu makalah yang singkat
ini, masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini dan yang selanjutnya.
[1] Rizal
Muntasyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokoh,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 21.
[2] http://pananaru-desa-kelurahan.kurikulum.org/ensiklopedia.php?_i=all&id=91700#Riwayat_Hidup Diunduh
pada tanggal 16 oktober 2014 pukul 10.30.
[3] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu Edisi Kedua, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2012), hlm. 52.
[4] Neohegelianisme adalah reaksi atas materialisme dan positivisme yang
tidak memberikan ruang metafisis bagi doktrin agama. Corak pemikirannya adalah
spekulatif metafisis. Lihat di http://jarwoarronggo.blogspot.com/2011/04/neo-thomisme-neo-scholastic-dan-neo.html, diunduh hari
selasa, 21 oktober 2014 pukul 10.30.
[5] Filologi adalah
ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu
bangsa sebagaimana terdapat dl bahan-bahan tertulis. (http://kbbi.web.id/filologi).
[7] Asep Ahmad
Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Makna Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung:
Rosdakarya, 2009), hlm. 45.
[8] Analitik adalah
investigasi, logis, mendalam, tajam dan tersusun. Sedangkan
filsafat analitik adalah gerakan filsuf abad ke-20, khususnya di Inggris dan
Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisis
pernyataan- pernyataan (konsep, ungkapan kebahasaan, atau bentuk yang logis)
untuk menemukan bentuk yang paling logis dan singkat yang sesuai dengan fakta
atau makna yang disajikan. lihat karya Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 68.
[9] Muhammad
Khoyin, Filsafat Bahasa: Philosophy of Language, (Bandung: PUSTAKA SETIA
, 2013), hlm. 214.
[10] Asep Ahmad
Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Makna Bahasa, Makna dan Tanda, hlm.
46.
[11]Positivisme
merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu
pengetahuan. Alairan ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan
bahwa realitas ada dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam.
Paham ini muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte. lihat
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2006), hlm. 77.
[12] Muhammad
Khoyin, Filsafat Bahasa: Philosophy of Language, hlm. 214.
[14] Lihat karya
Franz Magnis dan Suseno, 12 Tokoh
Etika Abad Ke- 20, hlm. 17.
[15] “Simple” di
sini bukan berarti “sederhana” , melainkan “primer” karena
“sederhana” mempunyai sedikit lain, lebih ke arah “gampang”, “primer”
juga memang tidak tepat karena “simple” berarti “tidak terdiri atas
bagian- bagian”, akan tetapi lebih mendekati apa yang dimaksud, karena apapun
yang terdiri atas bagian- bagian akhirnya mesti atas sesuatu yang primer dan
tidak mempunyai bagian- bagian lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar