Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 Desember 2014

PERKEMBANGAN PEMEROLEHAN BAHASA EMOTIF PADA BAYI

Bayi adalah manusia kecil  yang secara  kasat mata terlihat lucu, imut, unik dan menggemaskan dengan tingkah geraknya yang ekspresional. Sebagian dari kita menganggap bahwa bayi yang berusia 0- 1 bulan belum bisa berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya bisa bergerak menggerakkan sebagian anggota badannya ketika mendapat rangsangan dari orang lain seperti halnya menangis, tersenyum, menggeram dan lain- lain. Pernyataan itu sebenarnya kurang benar dan tepat, justru dengan tangisan, senyuman dan geraman tersebut menunjukkan bahwa bayi sudah bisa berkomunikasi dan berbahasa melalui ekspresi muka, gerak tubuh, atau unsur-unsur nonverbal lainnya.
 Pada dasarnya manusia mulai dari lahir sudah memiliki bahasa yang sumbernya berasal dari Tuhan yang dikenal dengan teori Tauqifi. Teori tauqifi adalah teori yang meyatakan bahwa bahasa itu merupakan pemberian dari Tuhan (Allah). Adapun Pemberian itu  berupa potensi dan kemapuan yang perlu diasah dan dikembangkan. Tanpa usaha tersebut potensi dan kemampuan tidak bisa berkembang untuk diperformenkan atau ditampilkan. Bekal kodrati pemberian Allah lah yang membuat manusia di manapun berada memakai strategi yang sama dalam memperoleh bahasa.
Bayi yang merupakan manusia kecil yang belum tahu apa- apa dengan mendapat bekal qadrati tersebut sudah memperoleh dan memiliki bahasa yang berupa simbol- simbol atau isyarat-isyarat yang diekspresikan ketika ia merasakan sesuatu atau menginginkan sesuatu. Bahasa- bahasa yang dimiliki bayi menurut penulis masuk dalam kategori bahasa emotif, yaitu bahasa yang diungkapkan untuk mewakili perasaan terdalam dari diri manusia (didapat dari materi kuliah filsafat bahasa). Penulis berpendapat demikian, karena seorang bayi yang belum tahu apa- apa, yang ia tahu hanyalah apa yang ia rasa kemudian dituangkan dalam bentuk simbol- simbol atau isyarat- isyarat, sehingga dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai bahasa emotif. Fungsi ini penulis ambil dari salah satu fungsi bahasa menurut Titus, Smith dan  Nolan yaitu sebagai fungsi emotif.
Bahasa emotif pada bayi diperoleh sebelum ia dilahirkan di dunia ini. Bahasa emotif tersebut masih berwujud simbol- simbol atau isyarat- isyarat yang berupa gerakan- gerakan yang terjadi dan dirasakan pada ibu hamil. Dari artikel yang penulis baca dikatakan bahwa  bahasa emotif yang berupa gerakan- gerakan pada bayi terlebih dahulu diperoleh melalui proses “pemahaman atau understanding”. Yang dihasilkan dari ritme musik atau lagu- lagu, tilawah al-Qur’an, bunyi- bunyi dan lain sebagainya, yang sengaja ibu perdengarkan untuk sang janin ketika janin memasuki usia 25 minggu. Pada fase terakhir kehamilan, sang janin sudah dapat membedakan suara yang berbeda-beda. Dari sinilah awal proses belajar pemerolehan bahasa pada bayi yang masih berada di dalam janin.
Pemerolehan bahasa emotif pada janin yang berupa isyarat- isyarat gerakan yang dirasakan seorang ibu terjadi karena terdapat rangsangan dari luar. Rangsangan- rangsangan tersebut langsung berpengaruh pada janin, karena sifatnya yang peka dan sensitif.  Secara tidak langsung bahasa emotif yang ada pada janin terus berkembang sampai ia lahir. Perkembangan tersebut seperti yang penulis contohkan di atas, yang berupa simbol- simbol atau isyarat yaitu bayi akan menangis ketika membutuhkan sesuatu seperti halnya merasa lapar, haus, takut dan bosan, akan tertawa dan tersenyum ketika merasa terhibur. Selain itu, ia juga akan  dapat menghubungkan suara dengan objek tertentu dengan gerak badan. Dan pada tahap ini  mereka sudah mulai bisa berkomunikasi aktif dan dapat mengasosiasikan pola suara dengan suatu benda serta pola suara dengan gerak tubuh.
Adapun perkembangan dan pemerolehan bahasa emotif bayi dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Ketika usia 4– 7 bulan bayi mulai memakai ocehan- ocehan dan mengombinasikan beberapa huruf hidup dan mati, misalnya ketika ia merasakan marah dan jengkel, ia akan berteriak sambil menggerak- gerakkan sebagian anggota tubuhnya. Dan ketika ia santai, ia akan mengeluarkan ocehan seperti nanana, mamama, papapa dan sebagainya. Selain itu, ia juga sudah mulai merespon saat diajak berbicara langsung dan semakin paham dengan berbagai nada suara seperti suara terkejut, senang, serius, dan lainnya.
Bahasa emotif bayi akan selalu berkembang dan diperoleh bayi dengan bertambahnya usia dan perhatian khusus dari orang tua. Orang tua harus selalu melatih dan mengajarkan kata- kata yang sesuai dengan tahapan atau fase sang bayi, karena sifat bayi yang masih sangat sensitif dan suka meniru apa yang diajarkan dan ada di lingkungan sekitar.

Referensi:
Dardjowidjojo, Soenjono, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010.
www. informasitips.com, diunduh kamis, 23 oktober 2014, Pukul 16.20.

Jasirah, Makalah Hasil Laporan Pengamatan Bahasa Anak, Ttt. 

ANALITIK BAHASA (George Edward Moore)

I.  PENDAHULUAN
Bahasa adalah faktor terpenting dalam kehidupan manusia untuk bersosialisasi dengan yang lain. Bahasa sebagai alat komunikasi yang dihasilkan dari kerja akal yang ada di dalam otak manusia memiliki gaya tarik tersendiri bagi para filsuf untuk mengkaji, meneliti dan menganalisis. Para filsuf sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan filsafat dan konsep filosofis menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Adapun analisis bahasa adalah suatu pandangan yang berupaya menjelaskan (melalui analisis) penggunaan bahasa dalam filsafat.
Analisis bahasa bukanlah suatu hal baru dalam arena filsafat yang didasarkan pada pencanangan Wittgenstein pada abad ke-20an sebagai metode dalam berfilsafat. Akan tetapi, analisis bahasa sebenarnya sudah terdapat benih- benihnya dalam pemikiran para filsuf terdahulu. Benih- benih yang berupa ide- ide tersebut baik yang disengaja maupun tidak diambil dan dikembangkan oleh tokoh- tokoh MAB (Madzhab Analitika Bahasa) sesuai dengan pola pemikiran mereka masing- masing.
Berdasarkan penjelasan tersebut, para tokoh filsuf terdahulu telah menanamkan dan memberikan sumbangsih yang tidak kecil bagi perkembangan dan pertumbuhan MAB (Metode Analisis Bahasa) dengan perkembangan filsafat secara umum. Meskipun, para filsuf terdahulu belum menjadikan analisis bahasa sebagai satu- satunya objek pemikiran mereka.
Adapun filsuf yang dianggap sebagai penyebar benih MAB (Madzhab Analitika Bahasa), yaitu: Socrates, aristoteles, Descartes, John Locke, David Hume, Immanuel Kant, dan G.E. Moore.[1] Pada kesempatan ini, penulis akan mencoba menjelaskan secara khusus G.E. Moore dan pemikirannya terhadap filsafat khususnya filsafat bahasa, dengan tujuan untuk lebih mengetahui G.E. Moore sebagai filsuf yang memiliki pemikiran luar biasa yang berpengaruh besar terhadap perkembangan MAB (Madzhab Analitika Bahasa).

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Siapakah George Edward Moore itu?
B.     Bagaimana Pemikiran George Edward Moore Terhadap Filsafat Bahasa?
C.     Bagaimana George Edward Moore membongkar kekeliruan naturalistik?

III. PEMBAHASAN
A.    George Edward Moore (1873- 1958)
G.E. Moore lahir pada tanggal 04 November 1873 di London, England dan meninggal pada tanggal 24 Oktober 1958 di Cambridge, London.[2] Ia adalah seorang filsuf terkemuka Inggris dari aliran realisme baru (neorealisme) dan tokoh pelopor filsafat analitik yang mengembangkan teori realistik baru dalam epistemologi [3] era 19 sampai 20-an. Ia merupakan saudara dari penulis dan pemahat Sturge Thomas Moore. Selain itu, Ia juga merupakan seorang tokoh pertama yang melancarkan kritikan pedas terhadap neohegelianisme[4], sekaligus menjabat sebagai guru besar filsafat dan ahli filologi[5] dari Universitas Cambridge, Inggris dan editor majalah filsafat Cambridge yang menjadi pemancar filsafat analitis sampai hari ini, Mind selama 26 tahun, 1921- 1947[6]. Meskipun Ia secara nisbi sedikit menulis, namun ia mempunyai pengaruh yang sangat besar di Inggris dan Amerika.[7]
Adapun tulisan- tulisan atau karya- karya G.E. Moore antara lain:
1. Some Main Problems Of Philosophy
2. The Reputation Of Idealisme
3. Principia Ethica
4. Proof Of  The External World
5. A Defense Of Common Sense
6. Ethics

B.     Pemikiran George Edward Moore Terhadap Filsafat Bahasa
Tokoh yang dikenal lebih istemewa diantara tokoh- tokoh lain karena pemikirannya yang mampu menumbuhkan benih analitik[8] bahasa yang disemaikan para filsuf terdahulu ini, dianggap sebagai pencetus gagasan bagi kehadiran analisis bahasa pada abad kedua puluhan. Ia berkeyakinan bahwa banyak masalah kefilsafatan itu sesungguhnya merupakan masalah- masalah semu, yang kiranya akan hilang manakala orang secara cermat mempertimbangkan apakah sebenarnya yang dimaksud oleh masalah tersebut
Pandangan- pandangan kefilsafatannya dimulai dengan melakukan kritik terhadap metode dan ungkapan yang disodorkan kaum neohegelianisme. Sebab metodenya inilah ia mendapat julukan “seorang filsuf yang berfilsafat tentang filosof- filosof lain” atau bahasa Inggrisnya “philosopher’s philosopher”. Dalam karyanya The Reputation of Idealisme yang dimuat dalam majalah Mind pada tahun 1903, moore menolak mentah- mentah metafisika Bradley dan menunjukkan bahwa titik kelemahan utama filsafat idealisme kaum hegelian yang mendominasi corak pemikiran filsafat di Inggris sejak pertengahan abad kesembilan belas hingga awal abad kedua puluh terlihat jelas pada pernyataan- pernyataan (statements) filsafat mereka yang tidak memiliki dasar logika sehingga tidak terpahami oleh akal sehat (common sense).[9]
Menurut Moore dalam filsafat neohegelianisme banyak dijumpai ungkapan- ungkapan metafisis, seperti: “ waktu adalah tidak real”, jiwa itu adalah abadi”, “ dunia merupakan kesatuan realitas, yaitu Roh Absolut”. Menurut pendapatnya, ungkapan- ungkapan semacam ini merupakan jenis ungkapan yang tidak dapat dipahami oleh akal sehat, maka dari itu perlu dibuang karena tidak ada gunanya. Spekulasi metafisis yang tidak dapat dimengerti itu tidak dibutuhkan.[10] Selain itu, menurutnya common language atau bahasa sehari- hari merupakan sumber akal sehat yang sudah mencukupi, karena itu filsafat harus berpihak kepada akal sehat dan alatnya adalah analisis bahasa. Analisis Moore ini berada sebelum terjadinya perpisahan antara positivisme[11] dengan metafisika dan berhasil mematahkan dominasi kaum hegelian Inggris serta merupakan pertumbuhan awal gerakan baru dalam arena filsafat sebelumnya.[12]
Di dalam karyanya A Defense Of Common Sense (1924), Moore mengatakan bahwa dari sinilah terjadi sebagian besar pertentangan antara sekian banyak filosof dengan akal sehat. Manakala seorang filsuf berbenturan dengan akal sehat maka ia mempertahankan diri dengan jalan melarikan diri ke dalam dunia gelap.
Bagi Moore, tugas filsafat yang sebenarnya bukanlah menjelaskan atau menafsirkan tentang pengalaman kita, melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahui melalui kegiatan analisis bahasa berdasarkan akal sehat. Kegiatan analisis di sini dapat diartikan sebagai kegiatan menjelaskan suatu pikiran, suatu konsep yang diungkapkan, mengeksplisitkan semua yang tersimpul di dalamnya, merumuskan dengan kata- kata lain, memecahkan suatu persoalan ke dalam detail- detail kecil. Cara ini sudah ada pada metode rasionalisme Descartes.
Analisis itu juga bisa berarti bahwa kata- kata dan kalimat- kalimat biasa (analisandum) diganti oleh kata- kata dan kalimat- kalimat lain (analisins)yang mempunyai arti yang sama tetapi mempunyai bentuk yang lebih jelas. Selanjutnya, bagi Moore yang lebih penting adalah mengkalimatkan pertanyaan- pertanyaan dengan jelas dan tepat. Ini karena banyak persoalan filsafat yang belum bisa diturunkan dalam bentuk kalimat yang tepat dan sempurna, sehingga dapat menjawab persoalan- persoalan yang sebenarnya.
Dalam karyanya tentang etika, yaitu Principia Ethica (1903), Moore telah menerapkan analisis bahasa terhadap konsep- konsep etika, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “Metaethics”, yaitu penyelidikan tentang arti yang terkandung dalam istilah atau ungkapan yang terdapat dalam bidang etika. Pandangan Moore ini mengarah pada pencarian arti/ makna bahasa dalam filsafat sebagai salah satu persoalan yang paling mendasar dalam filsafat analitik. Dewasa ini, analisis konsep dinamakan sebagai “Metalanguage”, yaitu penjelasan terhadap konsep- konsep atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat”.
Pada tahun 1912 Moore menyempurnakan karyanya Principia Ethica tersebut dengan menggunakan judul karya baru yaitu Ethics yang mengutarakan pandangan yang lebih singkat dan jelas dan dengan sistematika lain. Berikut ini adalah garis besar pemikiran Moore dalam Principia Ethica:

“Dalam etika terdapat tiga pertanyaan dasar, yaitu: 1) apa yang harus ku lakukan?, 2) apa yang bernilai?, dan 3) apa arti kata baik?”

Dari ketiga pertanyaan di atas, terdapat hubungan logis. Dari sudut kebutuhan kehidupan praktis, pertanyaan nomor satulah yang relevan, karena pertanyaan tersebut masuk pada wilayah bahasan etika normatif  yang mencari prinsip- prinsip dasar kelakuan yang benar. Kelakuan yang benar adalah kelakuan yag paling tepat melaksanakan yang baik. Maka secara logis pertanyaan pertama mengandaikan jawaban atas pertanyaan kedua. Pertanyaan yang kedua “ apa yang bernilai”,maka harus tahu terlebih dahulu, apa yang dimaksud nilai itu?. Karena dalam bahasa etika: etika normatif mengandaikan etika nilai. Dalam bahasa Moore: untuk mengetahui apa yang baik (the good), kita harus mengetahui terlebih dahulu arti kata “baik” (good). Dengan demikian jelaslah bagi Moore bahwa pertanyaan etika paling mendasar adalah pertanyaan tentang arti kata “baik”.
Oleh karena itu, Principia Ethica buka dengan pertanyaan tentang arti kata “baik”. Dalam kaitan dengan pertanyaan itu lalu dibahas pelbagai anggapan yang keliru. Kemudian Moore menguraikan pandangannya tentang perbuatan yang benar secara moral. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang menghasilkan sebanyak mungkin realitas yang baik. Dalam bab terakhir Principia Ethica, Moore menguraikan anggapannya tentang realitas mana yang baik, atau bernilai pada dirinya sendiri. Jadi, Moore mulai dengan pertanyaan yang ketiga, lalu membahas yang pertama, akhirnya yang kedua.
Dalam naturalisme etis, Moore menyatakan keheranannya kepada para filosof sebelumnya yang selama lebih dari 2 ribu tahun tidak memberikan banyak perhatian terhadap apa arti kata “baik”. Padahal para filosof moral pada umumnya beretika seakan- akan mereka sudah mengetahui dengan jelas apa yang dimaksud “baik” itu, tanpa memeriksa dan mempertanggung jawabkan arti yang mereka andaikan itu. Sehingga, dengan sendirinya etika- etika yang mereka bangun atas pengertian yang salah, maka arahnya pun salah.
Menurut Moore, kebanyakan para filosof moral jatuh ke dalam perangkap yang sama, meskipun mereka mengartikannya berbeda- beda. Adapun perangkap yang sama itu adalah mereka menyamakan kata “baik” dengan salah satu sifat atau ciri lain. Menurut Moore ini adalah merupakan suatu kesalahan yang disebutnya dengan naturalisme.
Berikut ini adalah beberapa pengertian para filosof sebelumnya tentang arti kata “baik”:[13]
1.      Kaum hedonis mengartikan kata “baik” dengan apayang menyenangkan atau dalam rumusan utilatarisme “the greatest happines of the greatest number”.
2.      Aristoteles mengartikan kata “ baik” dengan apa yang mengembangkan manusia.
3.      Spencer mengartikan kata “ baik” dengan apa yang searah dengan evolusi.
4.      Hume dan kaum emotivis mengartikan kata “ baik” dengan apa yang diinginkan, dan lain- lain.

Menurut Moore pengartian- pengartian di atas adalah bermasalah, bahkan salah kaprah. Hal tersebut dikarenakan anggapan- anggapan mereka yang menyamakan “baik” dengan salah satu ciri fisik atau metafisik. Apa yang diinginkan orang adalah kenyataan objektif (fisik), baik itu dinilai baik atau buruk, benar atau salah, sopan atau kurang ajar. Kehendak Allah dan kodrat itu sesuatu yang objektif. Begitu pula dengan rasa nikmat dan seterusnya. Yang sama pada realitas ini adalah bahwa mereka tidak memuat suatu penilaian, harapan atau keharusan, melainkan sebuah kenyataan yang dapat ada atau  tidak ada. Kenyataan- kenyataan ini bersifat bukan normatif, melainkan deskriptif. Misalnya pernyataan “ membantu ibu itu “baik” lalu berarti “membantu ibu itu “ menyenangkan”, atau “ mengembangkan kepribadian orang”, atau “diinginkan”dan lain- lain. Jadi, penilaian moral difahami sebagai pernyataan tentang sebuah realitas, baik natural atau supernatural atau metafisik.


Moore membagi teori- teori naturalistik ke dalam dua kelompok, yaitu:
1.      Naturalisme etis, dalam arti sempit “baik” disamakan dengan sebuah fakta atau keadaan alami.
2.      Etika- etika metafisik, menyamakan kata “baik” dengan sebuah realitas non- duniawi atau metafisik.

Kedua pembagian kelompok di atas bersifat “ naturalistik” karena menyamakan realitas yang berkesan normatif atau bernilai sebuah keadaan non- normatif faktual, baik fisik maupun metafisik. Menurut naturalisme etis, penilaian moral dan pernyataan normatif bukan sebuah kelas atau macam pernyataan tersendiri di luar pernyataan faktual, melainkan termasuk pernyataan faktual, pernyataan tentang ada tidaknya sebuah realitas. Dari hal ada tidaknya sebuah realitas tersebut, Moore memberikan perhatian khusus terhadap kata yang dirujuk naturalisme etis dan Etika- etika metafisik yaitu kata “baik”, karena dalam pengartian yang telah dipakai para filosof moral terdahulu  salah kaprah dan tidak sesuai bahkan jika dilogika tidak ada kaitannya dan maknanya tidaksesuai dengan apa yang dimaksud (tidak sesuai akal sehat).

Dari  karya  Principia Ethica atu Ethics tersebut dapat diketahui bahwa konsep-konsep yang ditawarkan Moore bertitik tolak pada “akal sehat”. Adapun  “akal sehat” tersebut digunakan selain untuk meluruskan para filosof moral dalam megartikan kata “baik”, juga  untuk menyadarkan kita dari tipu daya istilah atau ungkapan yang muluk- muluk dan begitu mempesona, sebagaimana yang telah dibuat kaum hegelian. Baginya, ungkapan- ungkapan kaum hegelian tidak hanya membingungkan, akan tetapi juga tidak dapat diterima oleh akal sehat. Dalam karya lainnya yaitu “Proof Of  The External World, Moore menyanggah putusan filsafat kaum hegelian “ kita tidak dapat mengetahui dunia lahiriah itu ada” dengan nada setengah mengejek melalui pentaswiran sebagai berikut:

Sebagai contoh, saya dapat membuktikan bahwa kedua tangan manusia itu benar- benar ada dalam fakta. Caranya adalah dengan mengenggam kedua tangan saya itu, sambil menggerakkan tangan kanan, saya mengatakan “ ini tangan yang satu”, kemudian sambil menggerakkan tangan sebelah kiri, saya mengatakan, “ini tangan kedua”. Melalui tindakan ini, saya telah membuktikan keperiadaan benda- benda lahiriah berdasarkan fakta”.

Melalui contoh sederhana itu, Moore bermaksud menunjukkan untuk membuktikan kepribadian dunia lahiriah itu ada, tidak perlu didukung suatu putusan filsafat, cukup didasarkan akal sehat saja.
Penyebab timbulnya kekacauan ataupun perselisihan paham dalam kancah filsafat itu, menurut Moore karena filsuf berusaha menjawab pertanyaan tanpa mengetahui secara tepat apakah pertanyaan itu memang layak untuk dijawab. Di sini, kita melihat bahwa tudingan yang diarahkan pada persoalan filsafat yang banyak mengandung “Misteri” atau teka- teki yang membingungkan banyak orang, yang menurut kacamata Moore, persoalan itu tidak lazim bagi akal sehat. Ketidaklaziman itu, salah satu di antaranya terlihat pada ungkapan filsafat yang bersimpang jalan dengan pemakaian bahasa biasa sehari- hari. Bagi Moore, “keadaan itu merupakan pertanda bahwa akal sehat kita telah dilanggar secara terang- terangan”.
Untuk menjelaskan penggunaan bahasa biasa yang berbeda dengan penggunaan bahasa filsafat itu, Moore menunjukkan contoh melalui dua pernyataan berikut. Pernyataan pertama (semua harimau pasti mengaum) dan pernyataan kedua (semua harimau itu “ada”). Pernyataan pertama lebih mudah dipahami pengertiannya dari pada pernyataan kedua (semua harimau itu “ada”). Kebanyakan pernyataan filsafat itu serupa dengan pernyataan kedua. Padahal menurut Moore, “ada”  itu bukanlah predikat yang sejenis dengan “mengaum”. Inilah salah satu titik kelemahan atas kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat yang berhasil disingkap oleh Moore.
Corak pemikiran Moore seperti yang telah dipaparkan di atas, disebarluaskan dan dikembangkan secara terperinci oleh para filsuf analitik pada abad ke20-an. Adapun tokoh filsafat analitik, seperti Russel, Wittgenstein, Ryle, Austin, dan lain- lain, baik secara langsung maupun tidak, telah mengambil ide- ide Moore dalam teknik- teknik analisis bahasa yang mereka jalankan.

C.    Pembongkaran  George Edward Moore terhadap Kekeliruan Naturalistik
Dalam hal pembongkaran terhadap kekeliruan naturalistik ini, Moore menganggap bahwa hal tersebut berada pada identifikasi arti kata “baik” dengan salah satu kenyataan atau realitas. Moore mengajukan dua pertimbangan yang cukup jelas, yaitu:
1.      Kata “baik” identik dengan sebuah keadaan, semua pernyataan yang memakai kata “baik” menjadi tautologis. Misalnya:
·         Kata “baik” sama dengan (=) “ sesuai dengan kehendak Allah” .
Maka perintah  “ berbuatlah sesuai dengan kehendak Allah karena itulah perbuatan baik” => berbuatlah sesuai dengan kehendak Allah karena itulah perbuatan sesuai dengan kehendak Allah.
·         Kata “baik” sama dengan (=) “ memberi nikmat”
Maka kalimat “ hidup baik adalah hidup yang memberi nikmat => “ hidup memberi nikmat adalah hidup yang memberi nikmat”.
Dari dua contoh di atas, maka arti kata “baik” akan menjadi hilang.
2.      Argumen pertanyaan terbuka. Argumen ini berjalan sebagai berikut:
Misalnya:
·         Menetapkan kata “baik” dengan “yang memberi nikmat”, tetapi masih terbuka pertanyaan: Apakah apa saja yang memberi nikmat memang baik?
·         Menetapkan kata “baik” dengan “ apa yang diinginkan”, kita masih bisa bertanya : apakah yang didinginkan orang selalu baik?, dan masih ada contoh- contoh yang lainnya.

Dari argumen pertanyaan- pertanyaan tersebut, kita akan selalu bisa bertanya kembali apakah yang dianggap baik itu memang baik. Maka tidak mungkin “baik” itu identik dengan keadaan apapun yang dianggap baik.[14]
Adapun pendapat Moore mengenahi identifikasi kata “baik “ adalah bahwa kata “baik” tidak dapat dianalisa lebih lanjut. Kata “baik” merupakan sifat yang primer (simple)[15] yang tidak lagi terdiri dari bagian- bagian atau unsur- unsur dan oleh karena itu juga tidak dapat dianalisa. “Baik” adalah sesuatu yang kita tangkap secara langsung. Kalaupun kita mengambil sepuluh perbuatan yang kita nilai “baik” lalu memeriksa perbuatan itu apakah ada kesamaannya, kita tidak akan dapat menemukan arti baik kalau kita tidak mengetahuinya sebelumnya. Orang yang tidak menangkap arti kata “baik”, dengan segala penjelasan pun tidak akan menangkapnya.
Untuk lebih menjelaskan maksud pendapatnya tersebut, maka Moore mengibaratkan dan membandingkan kata “baik” dengan “kuning”. Warna kuning memang selalu melekat pada sebuah benda: pakaian, dinding, bulpen, bendera bisa kuning. Tidak ada kuning mengambang di udara kosong. Akan tetapi, “kuning” sendiri tidak identik dengan “kendaraannya”.  Betapapun kita menganalisis pakaian, dinding, bulpen dan bendera kuning, analisis tersebut tidak menambah apapun pada persepsi kuning itu. Bagi orang yang buta warna kuning- biru (yang jarang terjadi), analisis dan pemeriksaan apapun terhadap benda yang kuning tidak akan membuat orang itu mengetahuinya apa yang disebut kuning oleh orang lain. Orang atau melihat yang kuning atau tidak, dan ssegala analisis terhadap benda kuning tidak menambah apapun pada pengetahuan itu. Begitu pula kita tidak tahu apa itu kuning kalau kita menjelaskan panjang gelombang elektromagnetik berapa yang menimbulkan rasa kuning.
Begitu pula orang mengerti apa itu “baik” atau tidak mengertinya, dan kalau ia tidak mengertinya analisis apapun tidak akan membuatnya mengerti. Jadi, pengetahuan tentang arti “baik” bersifat intuitif. Pada hakekatnya, dari “baik” (good) harus dibedakan antara benda atau realitas yang baik (the good). Pencampuran kata “baik” dengan “apa yang baik” adalah kekeliruan naturalistik tadi. Ada benda yang lebih dan yang kurang baik. Kadar kebaikan sebuah benda tidak ditentukan oleh kebaikan bagiannya- bagiannya. Bisa saja terjadi bahwa kebaikan dua benda yang masing- masing memilki kebaikan rendah seperti misalnya nikmat dan pengetahuan, memiliki kadar kebaikan yang tinggi kalau dipersatukan sebagai pengetahuan yang memberikan nikmat.
Itulah teori Moore tentang “organic wholes”, satuan- satuan atau keutuhan-keutuhan organis. Yang dimaksud adalah bahwa “nilai sebuah keutuhan jangan dianggap sama dengan jumlah nilai bagian- bagiannya”. Kesatuan yang terbangun atas beberapa bagian dapat memiliki nilai jauh lebih tinggi dari pada jumlah nilai satuan masing- masing.
Moore menegaskan bahwa penilaian moral, jadi penilaian apakah dan sejauh mana sesuatu itu baik atau buruk, bersifat seratus persen objektif dalam arti bahwa penilaian itu tidak tergantung dari selera, perasaan atau insting orang yang menilai. Maka dua realitas yang secara hakiki sama, pasti juga sama baiknya: “apabila sebuah keutuhan pernah (dipastikan) baik atau buruk pada dirinya sendiri, maka setiap keutuhan yang persis mirip dengannya selalu pasti baik atau buruk pada dirinya sendiri, persis dengan takaran yang sama.

IV. KESIMPULAN
G.E. Moore (04 November 1873 - 24 Oktober 1958) adalah seorang filsuf terkemuka Inggris dari aliran realisme baru dan tokoh pelopor filsafat analitik yang mengembangkan teori realistik baru dalam epistemologi di era 19 sampai 20-an. Ia juga merupakan seorang tokoh pertama yang melancarkan kritikan pedas terhadap neohegelianisme.
Pemikirannya terhadap filsafat bahasa dimulai dengan melakukan kritik terhadap metode dan ungkapan yang disodorkan kaum neohegelianisme. Ia menolak mentah- mentah metafisika Bradley dan menunjukkan bahwa titik kelemahan utama kaum hegelian terlihat jelas pada pernyataan- pernyataan (statements) filsafat mereka yang tidak memiliki dasar logika, sehingga tidak terpahami oleh akal sehat. Padahal bahasa sehari- hari itu merupakan sumber akal sehat. Karena itu filsafat harus berpihak kepada akal sehat dan alatnya adalah analisis bahasa.
Moore menganggap bahwa kekeliruan naturalistik berada pada identifikasi arti kata “baik” dengan salah satu kenyataan atau realitas. Menurutnya kata “baik” tidak dapat dianalisa lebih lanjut. Kata “baik” merupakan sifat yang primer (simple) yang tidak lagi terdiri dari bagian- bagian atau unsur- unsur dan oleh karena itu juga tidak dapat dianalisa.

V.    PENUTUP
Demikian apa yang dapat disajikan oleh penulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu makalah yang singkat ini, masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini dan yang selanjutnya.







 



[1] Rizal Muntasyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 21.
[3] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu Edisi Kedua, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2012), hlm. 52.
[4] Neohegelianisme adalah  reaksi atas materialisme dan positivisme yang tidak memberikan ruang metafisis bagi doktrin agama. Corak pemikirannya adalah spekulatif  metafisis. Lihat  di http://jarwoarronggo.blogspot.com/2011/04/neo-thomisme-neo-scholastic-dan-neo.html, diunduh hari selasa, 21 oktober 2014 pukul 10.30.
[5] Filologi adalah ilmu tentang  bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dl bahan-bahan tertulis. (http://kbbi.web.id/filologi).
[6] Franz Magnis dan Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke- 20, (Yogjakarta: Kanisius, 2000), hlm. 12.
[7] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Makna Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 45.
[8] Analitik adalah investigasi, logis, mendalam, tajam dan tersusun. Sedangkan filsafat analitik adalah gerakan filsuf abad ke-20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisis pernyataan- pernyataan (konsep, ungkapan kebahasaan, atau bentuk yang logis) untuk menemukan bentuk yang paling logis dan singkat yang sesuai dengan fakta atau makna yang disajikan. lihat karya Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 68.
[9] Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa: Philosophy of Language, (Bandung: PUSTAKA SETIA , 2013), hlm. 214.
[10] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Makna Bahasa, Makna dan Tanda, hlm. 46.
[11]Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Alairan ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam. Paham ini muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte. lihat Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2006), hlm. 77.
[12] Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa: Philosophy of Language, hlm. 214.

[13] Lihat karya Franz  Magnis dan Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke- 20, hlm. 13.
[14] Lihat karya Franz  Magnis dan Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke- 20, hlm. 17.
[15]Simple” di sini bukan berarti “sederhana” , melainkan “primer” karena “sederhana” mempunyai sedikit lain, lebih ke arah “gampang”, “primer” juga memang tidak tepat karena “simple” berarti “tidak terdiri atas bagian- bagian”, akan tetapi lebih mendekati apa yang dimaksud, karena apapun yang terdiri atas bagian- bagian akhirnya mesti atas sesuatu yang primer dan tidak mempunyai bagian- bagian lagi.